Malam itu, aku menghubunginya dengan sedikit kesal karena aku merasa dirinya sudah tidak seperti dulu , tak ada perhatian khusus lagi, bahkan untuk menanyakan kabarku saja uuuurrrggghhhhh susahnya..
" Kenapa sih, kamu tidak seperti temanku. Mereka semua menyayangiku...saat aku sakit, sahabatku yang super cuek aja memperhatikan aku. dia langsung menanyakan kabarku dan meyuruhku untuk minum obat. tapi dirimu? menanyakan aq sudah sembuh aja atau tidak harus perlu dipancing. apa perhatianmu kepadaku harus juga berdasarkan keputusanku?? tak ada keinginan tulus dari dirimu sendiri???" tanpa basa-basi, aku memulai pembicaraanku dengan sengit.
“Maaf jika aku tidak seperti sahabatmu yang kreatif dalam mencurahkan rasa sayang dan perhatiannya kepadamu” jawabnya datar.
" Sebuah Perhatian tidak butuh kekreatifan tapi ketulusan hati " lanjutku masih mencerca.
" Bersyukur-lah kamu masih dikelilingi oleh orang-orang yang tulus menyayangimu " aku diam tak berkomentar, karena aku ingin mendengar kelanjutan ucapnnya. setelah menunggu beberapa detik, dia melanjutkan ucapannya.
" Bukan-kah aku sudah berdoa untukmu " lanjutnya - GubRRaaaK - di luar harapanku. Karena yang aq harapkan adalah ucapan maaf dari dirinya. Bukan nada polos tanpa dosa. aku menarik panjang nafasku tidak mau menyalahkan ucapannya karena kesembuhanku kemungkinan juga atas doanya.
Bukan hanya doa yang aku butuhkan, tapi aku juga butuh perhatianmu .- Ucap Batinku -
" Tapi aku ingin kamu juga memperhatikanku " akhirnya ucapanku yang tertahan keluar juga.
suasana menjadi diam, tak satupun ada yang bicara. aku hanya bisa melihat langit yang terhampar tanpa hiasan bulan dan bintang.
sedangkan dia? entahlah, karena percakapan kami disambung oleh Hand phone.
" Mengapa kamu selalu menilai apa yang tidak bisa aku lakukan kepadamu? apakah selama ini aku pernah mengatakan apa yang tidak aku suka darimu??" aku diam, dadaku berdegup kencang. sebuah jawaban yang langsung menyindir diriku sendiri.
" Jika saat ini aku diberi kertas kosong untuk menulis tentang negatifmu, apakah kamu ingin tau apa yang akan aku lakukan?” tanyanya membingungkanku.
“ apa ?”
“aku tak akan mengisi kertas kosong itu, karena bagiku tak ada yang cacat dari dirimu. jika aku masih belum bisa sempurna dihadapanmu, maafkan aku...namun aku tetap berharap, kekuranganku bisa kau tutupi dengan kelebihanmu. meskipun bukan saat ini. kelak, disaat pertemuan indah itu terjadi"
Astagfirullah,,
Pandanganku mulai terhalangi genangan air mata.
Haruskah aku se-egois ini?
Memangnya, siapakah diriku? bukankah semuanya belum halal? tapi mengapa aku ingin perhatiannya?
Bukankah disaat dia masih menjadi "Pacarku" dirinya sudah berusaha untuk memberikan perhatian, dengan mengingatkan saat harus beribadah...
Menemani disaat diriku lembur kerja, dengan selalu menghubungiku karena ingin memastikan keberadaanku dan keadaanku.
Mengingatkan aku untuk makan dan hal-hal kecil laennya.
1 Desember 2010
"Sayang, ternyata kebersamaan kita yang bernaung dalam dunia pacaran hanya akan menyebabkan sebuah fitnah untuk kita berdua, sesuatu yang tidak pernah kita lakukan bisa menjadi prasangka buruk di dalam fikiran kita " ucapnya beberapa minggu yang lalu, aku sedikit tersentak dan mengerti arah pembicaraanya."
" lalu ? " Tanyaku sedikit menggantung.
" Kuserahkan kepadamu keputusannya " lanjutnya.
Itu salah satu sifat yang tidak kusuka darinya, sering dia menyerahkan keputusan kepadaku. Tak pernah ada inisiatif dari dirinya sendiri meski kuingin dia memberi keputusan juga.
ingin rasanya mengatakan lamarlah aku namun aku urungkan karena sudah pasti dia akan tertawa dan mengatakan
" ingat-lah sayang, ibumu tak akan mengijinkan kita menikah sebelum aku bekerja "
" Baiklah agar tidak terjadi fitnah, lebih baek kita bersahabat saja " aku mengucapkan keputusanku karena emosi dan terpaksa.
" Subhanallah " Ucapnya memuji. jujur jika boleh berkata lagi aku ingin menarik ucapanku.
" Aku akan tetap meyayangimu, Sobat " Saat mendengar ucapannya, nafasku terasa berhenti sejenak. baru beberapa detik dia mengatakan Sayang dan kali ini ucapannya berubah menjadi Sobat.
" Aaaku juga Sobat " Ucapku dengan dadaku yang sesak. Menahan aer mata yg mulai mengintip.
Kuakui, Rasa Cintanya terhadap Sang Pemilik Rasa Cinta melebihi rasa cintaku pada Rabbi, Maka tak heranlah jika ia memutuskan untuk tak mengikat rasa ini dalam dunia “pacaran” dan inilah salah satu alasan mengapa aku ingin mempertahankannya.
" Maafkan aku, sikapku memang terlalu berlebihan, kuakui aku belum bisa menerima kenyataan yang ada. aku masih dibayang-bayangi oleh sosok dirimu yang dulu " Ucapku, menyambung percakapan kami.
" Maafmu aku terima " Jawabnya datar.
" Semua ini belum berakhir, masih berlanjut namun biarkan keputusan terbaik kita serahkan sama Allah. Manusia hanya bisa berencana, Manusia hanya bisa berusaha namun ketetapan tetap ada pada Allah, aku yakin jika kau adalah tulang rusukku maka kau tetap bersamaku" lanjutnya.
Aku diam membisu tak menjawab.....
yang bisa kukatakan dalam hati " aKu merindukanmu, sayang...Perhatianmu yang dulu masih melekat dalam ingatanku , namun rasa rinduku tak bisa mengalahkan rasa rindumu terhadap Rabbi...karena Rinduku tak seindah Rindumu "